Oleh:
Nengah Kokog, S.Ag, M.Si
1. Pengantar
Kasta,
sebuah kata yang amat sering didengar di kalangan masyarakat Hindu. Istilah
ini
sering mengundang berbagai pandangan positif dan negatif. Begitu mudah
diucapkan
namun
begitu sulit dan njelimet untuk dijelaskan. Pengertian dijelaskan disini
adalah dalam
kaitannya
dengan Agama Hindu. Umumnya orang-orang non Hindu menyebutkan bahwa
kasta
itu ada dalam Hindu, karena mereka melihat praktek kasta hanya ada dalam
masyarakat
yang
beragama Hindu. Sementara itu sebagian umat Hindu sendiri, yang karena
pendidikannya
masih rendah dan belum banyaknya membaca ajaran-ajaran Hindu yang
tertulis,
bingung menjabarkan kasta ini.
Kenapa
kesalahpahaman soal kasta itu berlarut-larut? Sebabnya adalah unsur-unsur
dalam
kasta itu mengambil begitu saja unsur-unsur Warna (Varna) yang memang merupakan
ajaran
Agama Hindu. Masalah “kasta” memang telah menjadi “penyakit” menahun yang tak
kunjung
sembuh pada beberapa kelompok umat Hindu di Bali. Betul dalam Agama Hindu,
sistem
kasta tidak ada. Yang ada sistem Warna. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri
bahwa
sejarah telah mengukir jalannya kasta sejak abad ke-14, di mana tatanan
masyarakat
diubah
dari Warna ke kasta, untuk menguatkan status quo penguasa ketika itu. Padahal
sebelum
abad ke-14, kasta tidak dikenal di Bali/ Jawa. Penjajah Belanda, selama 350
tahun
menguatkan
sistem kasta karena ini sesuai dengan politik divide et impera-nya
(politik adu
domba).
Namun
demikian lama-kelamaan sistem kasta akan hilang ditelan jaman, karena umat
Hindu
(di Bali khususnya) akan semakin terdidik, dan juga karena pengaruh
globalisasi.
Misalnya
di Buleleng, mayoritas masyarakat tidak menyenangi sistem kasta, dan mereka
tidak
memperhatikannya.
Sistem kasta masih agak kuat di daerah Klungkung, Gianyar, Badung,
Tabanan,
Karangasem. Itupun sporadis.
2. Riwayat Kasta di Bali
Kasta,
dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting
from
the
division of society based on class differences of wealth, rank, rights,
profession, or job.
Uraian
lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775; asal
katanya
adalah “Casta” bahasa Portugis yang berarti kelas, ras keturunan,
golongan.
Bangsa
Portugis yang dikenal sebagai penjelajah lautan adalah pemerhati dan penemu
pertama
corak tatanan masyarakat di India yang berjenjang dan berkelompok; mereka
menamakan
tatanan itu sebagai casta. Tatanan itu kemudian berkembang di Eropa
terutama di
2
Inggris,
Perancis, Rusia, Spanyol, dan Portugis. Sosialisasi casta di Eropa
tumbuh subur
karena
didukung oleh bentuk pemerintahan monarki (kerajaan) dan kehidupan agraris.
Para
elit ketika itu adalah the king (raja), the prince (kaum
bangsawan), dan the land
lord
(tuan/ pemilik tanah pertanian); rakyat
jelata kebanyakan buruh tani misalnya di Rusia
disebut
sebagai kaum proletar adalah kelompok mayoritas yang hina, hidup susah,
dan
senantiasa
menjadi korban pemerasan kaum elit.
Lama
kelamaan tatanan ini berubah karena tiga hal utama, yaitu:
1.
Revolusi Perancis dan Bholshevik (Rusia) yang menghapuskan monarki dan the
land
lord
2.
Industrialisasi yang mengurangi peran sektor agraris
3.
Pengembangan Agama Kristen yang menonjolkan segi kasih sayang di antara umat
manusia
Walaupun
demikian casta tidak hilang sama sekali. Ia berubah wujud sebagai “Class
System”
yang didefinisikan sebagai: A differentiation among men according to such
categories
as wealth, position, and power (perbedaan manusia
menurut kekayaan,
posisi/status
dan kekuasaan). Class System ini dianalisis secara ilmiah oleh berbagai
tokoh
masyarakat;
yang terkemuka adalah Karl Marx dengan teorinya: The relations of production.
Inilah
embrio pemahaman sosialis komunis yang ingin meniadakan perbedaan kelas
masyarakat,
di mana pemerintah menguasai sumber-sumber kehidupan dan mengupayakan
perimbangan
income yang wajar di antara rakyatnya.
Peredaran
zaman menuju ke abad 20 membawa Class Theory yang klasik seperti
pemikiran
Karl Marx berubah menuju era baru seperti apa yang disebut sebagai Class
Mobility,
yaitu pengelompokan sosial karena kepentingan profesi. Kini kita biasa
mendengar
kelompok-kelompok:
usahawan, birokrat, intelektual, militer, dan rohaniawan; mereka
kemudian
mengikat diri lebih khusus ke dalam organisasi-organisasi seperti: IKADIN, IDI,
ICMI,
ICHI, MUI, PHDI, dll.
India
yang disebut dalam berbagai sumber sebagai asal Kasta Stelsel, sebenarnya
mempunyai
sekitar 3000 kelompok sosial masyarakat, namun pada umumnya dapat
dibedakan
menjadi empat. Pengelompokan ini di India tidak hanya ditemukan pada
masyarakat
yang beragama Hindu saja, tetapi juga pada masyarakat yang beragama lain
misalnya
penganut Islam berkelompok pada: Sayid, Sheikh, Pathan, dan Momin; penganut
Kristen
berkelompok pada: Chaldean Syrians, Yacobite Syrians, Latin Catholics, dan
Marthomite
Syrians; penganut Budha berkelompok pada: Mahayana, Hinayana, dan
Theravadi.
Istilah
pertama yang digunakan di India sesungguhnya bukanlah kasta tetapi “Varnas”
Bahasa
Sanskerta yang artinya Warna (colour); ditemukan dalam Rg Veda sekitar
3000 tahun
sebelum
Masehi yaitu Brahman (pendeta), Kshatriya (prajurit dan
pemerintah), Vaishya
3
(pedagang/
pengusaha), dan Sudra (pelayan). Tiga kelompok pertama disebut “dwij”
karena
kelahirannya
diupacarai dengan prosesi penyucian.
Sementara
itu, Warna yang diabadikan bahkan diwariskan turun temurun terjadi di
India
sebagai usaha kelompok elit mempertahankan status quo, yang sebenarnya sudah
sangat
menyimpang
dari ajaran suci Weda. Gejala mengabadikan Warna inilah yang dilihat oleh
orang-orang
Portugis sehingga timbullah istilah “casta” seperti yang diuraikan di
atas.
Penerapan
kasta stelsel di India menimbulkan pengkotak-kotakan masyarakat sehingga
mereka
saling bertikai. Dalam kondisi seperti ini jiwa nasionalisme pudar sehingga
India
mudah
dipecah belah dan akhirnya dijajah Inggris.
Agama
Hindu kemudian menyebar ke Indonesia lengkap dengan tatanan masyarakat
menurut
Warna masing-masing. Mula-mula di Jawa tatanan masyarakat masih murni menurut
Weda
yaitu tatanan menurut profesi atau Warna. Ketika Majapahit hendak meluaskan
kerajaan
dengan cita-cita menyatukan Nusantara yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya
Gajahmada,
maka Majapahit menundukkan Kerajaan Bali Dwipa pada abad ke-13. Para
“penjajah
Majapahit” membawa serta kaum elit yang memimpin kerajaan Samprangan. Kaum
elit
itu dinamakan Triwangsa, yaitu Brahmana, Ksatria, dan Waisya. Semua penduduk
Baliasli
yang
dijajah, dikelompokkan sebagai Wangsa Sudra. Tujuan politik Gajahmada adalah
agar
kaum Bali-asli tidak bisa eksis, sehingga kelanggengan pemerintahan Samprangan
dapat
berlanjut
terus.
Titel
bagi para Raja di Bali dikukuhkan/dianugrahkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda
setelah terwujudnya Pemerintahan Swapraja, berlaku efektif sejak tanggal 1 Juli
1938.
Pengambilan sumpah jabatan para Raja itu dilaksanakan di Pura Besakih pada
tanggal
29
Juni 1938 bertepatan dengan hari raya Galungan oleh Residen Bali dan Lombok: J.
Mol.
(sumber:
Bali pada abad XIX, Ida Anak Agung Gde Agung, Gajahmada University Press,
1989).
Sejak
masa itulah Warna di Bali berubah menjadi Wangsa atau Kasta karena hak-hak
kebangsawanan
diturunkan kepada generasi seterusnya. Kebijaksanaan ini menjadi panutan
bagi
sebagian golongan Triwangsa lainnya. Setelah kerajaan-kerajaan di Bali runtuh,
kemudian
Indonesia menjadi negara Republik, hak-hak kebangsawanan mereka dengan
sendirinya
hilang. Namun demikian titel-titel nama depannya masih digunakan, sekedar untuk
mengenang
kejayaan masa lalu dan mungkin dengan alasan lain yaitu menghormati leluhur.
Namun
bagi orang yang mengerti, keadaan ini sungguh lucu dan menggelikan; betapa
tidak?
Indonesia
telah merdeka, tetapi mereka masih patuh pada anugerah Belanda.
Sekarang
ini tinggal masyarakat saja yang menilai kedudukan seseorang. Tinggi
rendahnya
status sosial seseorang di masyarakat ditentukan pada peranan pengabdiannya
kepada
kepentingan masyarakat, bukan pada embel-embel predikat nama itu. Mereka yang
bijaksana
akan senantiasa menjauhkan perilaku feodalisme, karena feodalisme itu membodohi
diri
sendiri. Karenanya fenomena pengaburan makna kelompok sosial ini hendaknya
menjadi
4
bahan
pemikiran bagi kita semua: masyarakat, lembaga adat, PHDI, dan Pemerintah, agar
diera
reformasi
ini kejanggalan-kejanggalan di atas tidak berpengaruh kepada kehidupan
beragama.
3. Warna dan Wangsa
Dalam
Lontar Wrhaspati Tattwa dijelaskan: Paramasiwa kesadarannya mulai tersentuh
oleh
Maya; ketika itu ia mulai terpengaruh oleh sakti, guna, dan swabhawa
yang merupakan
hukum
kemahakuasaan Sanghyang Widhi Wasa.
Dalam
keadaan begini ia diberi gelar Sadasiwa. Ia memiliki kekuatan untuk memenuhi
segala
kehendaknya yang disimpulkan sebagai bunga teratai (padma) yang
merupakan stana-
Nya.
Dengan sakti, guna, dan swabawa-Nya ia aktif dengan segala ciptaan-ciptaan-Nya,
karena
itu ia disebut Saguna Brahman. Dalam menciptakan manusia ia tidak
membedabedakan
derajat
manusia.
Catur
Warna adalah: Brahmana, Kesatria, Wesya, dan Sudra. Pengelompokannya menurut
bakat/
kualitas manusia dan kerjanya:
1.
Orang yang berbakat, berkualitas, dan bekerja di bidang ke-Tuhanan disebut Brahmana.
2.
Orang yang berbakat, berkualitas, dan bekerja di bidang pemerintahan disebut
Kesatria.
3.
Orang yang berbakat, berkualitas, dan bekerja di bidang perekonomian disebut
Waisya.
4.
Orang yang berbakat, berkualitas, dan bekerja di bidang pelayanan disebut
Sudra.
Keempat
kelompok profesi ini diperlukan dalam tatanan kehidupan manusia, oleh
karena
itu Sang Hyang Widhi Wasa menciptakan manusia-manusia yang berbeda, tidak sama
semuanya.
Tidaklah dapat dibayangkan bagaimana bentuk kehidupan ini jika semua manusia
persis
sama: bakat, kualitas, dan kerjanya. Warna seseorang dapat berubah menurut
desa,
kala,
patra, dan juga dapat dirangkap oleh satu orang. Perubahan menurut desa, kala,
patra
sudah
terjadi sejak dahulu, misalnya di abad ke 13 M ketika Danghyang Kresna
Kepakisan
(Warna
Brahmana) dinobatkan sebagai Raja Bali Dwipa oleh Sri Ratu Tribuwanattunggadewi
(Raja
Majapahit) gelarnya diubah menjadi Sri Kresna Kepakisan (Warna Kesatria).
Warna
seseorang tidak selamanya tetap apalagi turun temurun; misalnya seorang
petani
(berwarna Sudra) karena ketekunannya berhasil menyekolahkan anaknya dan di
kemudian
hari menjadi bupati maka anaknya sudah menjadi Warna Ksatriya; demikian
sebaliknya
seorang keturunan Brahmana yang tidak lagi berprofesi sebagai Wiku tidak dapat
disebut
sebagai Warna Brahmana. Perubahan status pada seseorang bahkan dapat terjadi
setiap
saat menurut bidang tugasnya, misalnya seorang pesuruh di suatu kantor yang
merangkap
menjadi Pemangku di Pura/Sanggah Pamerajan; ketika bertugas sebagai pesuruh
dia
berwarna Sudra, tetapi jika bertugas nganteb piodalan di Pura dia
berwarna Brahmana.
Kesimpulannya
adalah Warna itu realistis dan idealnya semua profesional berbuat
sebaik-baiknya
untuk kepentingan bersama dan kesejahteraan umat manusia. Ke-empat
5
Warna
itu status dan derajatnya sama, tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang
lebih
rendah,
karena wujudnya adalah professionalisme.
Wangsa
adalah bangsa. Karena bangsa berkonotasi dengan etnis, maka sifatnya turun
temurun.
Misalnya anak pasangan suami/istri berbangsa Cina tidak mungkin mengaku anak
orang
berbangsa Negro. Di Bali, wangsa sering dikaitkan dengan istilah Kasta. Kasta
artinya
tingkatan
derajat (Cast) yang membedakan dengan tingkatan atau derajat (Cast)
yang lain.
Secara
umum konotasi ke-wangsa-an berkaitan dengan politik, perjuangan, dan kekuasaan.
Lama
kelamaan wangsa menjadi kasta, dan yang menyedihkan adalah Warna menjadi
wangsa,
sehingga sekarang ditemukan: Kasta Brahmana, Kasta Kesatria, Kasta Wesya, Kasta
Sudra,
dengan atribut/ titel yang tidak berdasarkan kitab suci. Oleh karena pembauran
Warna
dengan
wangsa/ kasta, maka atribut/ titel itupun diwariskan turun temurun. Kejanggalan
tidak
sedikit
terjadi, misalnya seorang wangsa Brahmana berprofesi sebagai Warna Sudra,
demikian
sebaliknya. Banyak yang berdalih bahwa mewariskan wangsa kepada keturunan
adalah
sebagai wujud penghormatan kepada leluhur. Ini tampaknya kurang bijaksana,
karena
pola
pikir seperti itu telah menyimpang dari Weda.
4. Sumber Sastra
Beberapa
Kitab suci Hindu seperti Manawa Dharma sastra, Bhagawadgita,
Sarasamuscaya,
dan lain lain secara jelas mengajarkan bahwa tidak ada perbedaan wangsa di
antara
manusia. Yang ada hanyalah perbedaan Warna (profesi). Semua manusia mempunyai
harkat
derajat yang sama di hadapan Sang Hyang Widhi Wasa. Bahkan binatang dan
tumbuhtumbuhan
pun
demikian karena semua ciptaan-Nya. Dengan pengertian seperti itu akan
timbul
rasa saling menghormati sesama kita.
Dalam
Bhagavadgita IV.13 ditulis:
Caturvarnyah
maya srstam
Gunakarmavibhagasah
Tasya
kartaram api mamm
Viddhy
akartaram avyayam
artinya:
Catur
Warna Kuciptakan menurut pembagian dari Guna dan Karma (Sifat dan
pekerjaan).
Meskipun
Aku sebagai penciptanya, ketahuilah Aku mengatasi gerak dan perubahan.
Warna
adalah profesi atau bidang kerja yang dilaksanakan seseorang menurut bakat dan
keahliannya;
tidak ada perbedaan derajat diantaranya karena masing-masing menjalankan
karma
dengan saling melengkapi.
6
Mantram-mantram
dari Yajurveda 18. 48 antara lain berbunyi:
Rucam
No Dhehi Brahmanesu,
Rucam
Rajasu Nas Krdhi,
Rucam
Visyesu Sudresu,
Mayi
Dhehi Ruca Rucam
artinya:
Ya
Tuhan Yang Maha Esa bersedialah memberikan kemuliaan pada para Brahmana, para
Ksatriya,
para Vaisya, dan para Sudra. Semoga Engkau melimpahkan kecemerlangan yang
tidak
habis-habisnya kepada kami.
Yajurveda
mantram 30.5 berbunyi:
Brahmane
Brahmanam, Ksatraya,
Rajanyam,
Marudbhyo Vaisyam, Tapase Sudram
artinya:
Ya
Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan Brahmana untuk pengetahuan, para Ksatriya
untuk
perlindungan, para Vaisya untuk perdagangan, dan para Sudra untuk pekerjaan
jasmaniah.
Profesi
yang empat jenis itu adalah bagian-bagian (berasal) dari Tuhan Yang Maha Esa
yang
suci,
diibaratkan sebagai anatomi tubuh manusia dalam tatanan masyarakat, sebagaimana
Yajurveda
mantram 31.11 menyatakan:
Brahmano
Asya Mukham Asid, Bahu Rajanyah Krtah,
Uru
Tadasya Yad Vaisyah, Padbhyam Sudro Ajayata
artinya:
Brahmana
adalah mulut-Nya Tuhan Yang Maha Esa, Ksatriya lengan-lengan-Nya, Vaisya
paha-Nya,
dan Sudra kaki-kaki-Nya.
Selanjutnya
doa yang mengandung harapan agar masing-masing profesi/Warna melaksanakan
swadharma
yang baik terdapat pada Yajurveda
mantram 33.81:
Pravakawarnah
Sucayo Vipascitah
artinya:
para
Brahmana seharusnya bersinar seperti api, bijak, dan terpelajar
Yajurveda
mantram 20.25:
Yatra
Brahma Ca Ksatram Ca, Samyancau Caratah Saha,
Tam
Lokam Punyam Prajnesam, Yatra Devah Sahagnina
7
artinya:
di
negara itu seharusnya diperlakukan warga negaranya sebaik mungkin, di sana para
Brahmana
dan para Ksatriya hidup di dalam keserasian dan orang-orang yang terpelajar
melaksanakan
persembahan (pengorbanan).
5. Upaya Memudarkan Sistem Kasta
Bagaimana
kiatnya memudarkan sistem kasta? Ya, perlakukan orang-orang berkasta
itu
biasa-biasa saja. Hormati mereka berdasarkan inteligensi dan pengabdiannya
kepada
masyarakat.
Bukan karena titel kebangsawanannya.
Satu
lagi tips yang sebaiknya diterapkan di masyarakat Hindu : bila seorang gadis
dinikahi
oleh seorang dari kaum Triwangsa sebaiknya namanya tidak usah diganti misalnya
ketika
gadis bernama Made Arini, lalu karena menikah dengan Ida Bagus/Anak Agung/I
Gusti
namanya diganti menjadi Jero Jempiring. Karena tidak ada aturan tentang hal
tersebut
dalam
sastra Agama. Ini hanyalah tradisi gugon tuwon yang berbau feodal.
Lontar
Dharma Kauripan mengatakan bahwa yang
berhak memberi nama atau
merubah
nama seorang anak hanyalah ayah dan ibu kandungnya (Guru Rupaka). Nama
diberikan
ketika upacara tiga bulanan, disaksikan oleh Ida Bethara Hyang Guru (Kemulan),
karena
itu ada unsur sakralnya. Anak yang namanya diganti bukan atas kehendak orang
tuanya
akan menemui kesialan dalam hidup selanjutnya, karena terkena kutukan prasangga
pada
Guru Rupaka. Dan mudah-mudahan juga ketika natab banten pekala-kalaan si
Jero
Jempiring
tidak natab bersama keris sebagai ganti sang suami. Kalau ini juga
terjadi
penyimpangan
dharma agama akan makin melebar.
Seorang
lelaki yang menikahi seorang gadis yang berbeda wangsa tidak hanya
mencintai
dan menyayangi gadis itu saja, tetapi juga wajib menghormati dan menyayangi
keluarga
si gadis, termasuk para leluhurnya. Ngaturang bakti di sanggah pamerajan pihak
wanita
tidak selamanya berarti “nyumbah” leluhur si gadis, tetapi (dalam
upacara
Pawiwahan)
lebih bermakna sebagai permakluman dan perkenalan diri kepada para leluhur si
gadis.
Yang
terakhir, perlu dipahami bahwa upacara Mepamit tidak berarti mohon diri
kepada
Ida Bethara di Sanggah Pamerajan, tetapi berarti pemindahan registrasi (secara
niskala),
yaitu registrasi di Sanggah Pamerajan gadis dicoret kemudian terdaftar di
Sanggah
Pamerajan
laki-laki, sehingga nanti bila meninggal dunia lalu di-aben, arwah si
gadis sudah
sah “mepaingkup”
di Sanggah Pamerajan laki-laki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar