Sabtu, 04 Mei 2013

KASTA MENURUT PANDANGAN HINDU


KASTA MENURUT PANDANGAN HINDU
Oleh: Nengah Kokog, S.Ag, M.Si
1. Pengantar
Kasta, sebuah kata yang amat sering didengar di kalangan masyarakat Hindu. Istilah
ini sering mengundang berbagai pandangan positif dan negatif. Begitu mudah diucapkan
namun begitu sulit dan njelimet untuk dijelaskan. Pengertian dijelaskan disini adalah dalam
kaitannya dengan Agama Hindu. Umumnya orang-orang non Hindu menyebutkan bahwa
kasta itu ada dalam Hindu, karena mereka melihat praktek kasta hanya ada dalam masyarakat
yang beragama Hindu. Sementara itu sebagian umat Hindu sendiri, yang karena
pendidikannya masih rendah dan belum banyaknya membaca ajaran-ajaran Hindu yang
tertulis, bingung menjabarkan kasta ini.
Kenapa kesalahpahaman soal kasta itu berlarut-larut? Sebabnya adalah unsur-unsur
dalam kasta itu mengambil begitu saja unsur-unsur Warna (Varna) yang memang merupakan
ajaran Agama Hindu. Masalah “kasta” memang telah menjadi “penyakit” menahun yang tak
kunjung sembuh pada beberapa kelompok umat Hindu di Bali. Betul dalam Agama Hindu,
sistem kasta tidak ada. Yang ada sistem Warna. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri
bahwa sejarah telah mengukir jalannya kasta sejak abad ke-14, di mana tatanan masyarakat
diubah dari Warna ke kasta, untuk menguatkan status quo penguasa ketika itu. Padahal
sebelum abad ke-14, kasta tidak dikenal di Bali/ Jawa. Penjajah Belanda, selama 350 tahun
menguatkan sistem kasta karena ini sesuai dengan politik divide et impera-nya (politik adu
domba).
Namun demikian lama-kelamaan sistem kasta akan hilang ditelan jaman, karena umat
Hindu (di Bali khususnya) akan semakin terdidik, dan juga karena pengaruh globalisasi.
Misalnya di Buleleng, mayoritas masyarakat tidak menyenangi sistem kasta, dan mereka tidak
memperhatikannya. Sistem kasta masih agak kuat di daerah Klungkung, Gianyar, Badung,
Tabanan, Karangasem. Itupun sporadis.
2. Riwayat Kasta di Bali
Kasta, dalam Dictionary of American English disebut: Caste is a group resulting from
the division of society based on class differences of wealth, rank, rights, profession, or job.
Uraian lebih luas ditemukan pada Encyclopedia Americana Volume 5 halaman 775; asal
katanya adalah “Casta” bahasa Portugis yang berarti kelas, ras keturunan, golongan.
Bangsa Portugis yang dikenal sebagai penjelajah lautan adalah pemerhati dan penemu
pertama corak tatanan masyarakat di India yang berjenjang dan berkelompok; mereka
menamakan tatanan itu sebagai casta. Tatanan itu kemudian berkembang di Eropa terutama di
2
Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, dan Portugis. Sosialisasi casta di Eropa tumbuh subur
karena didukung oleh bentuk pemerintahan monarki (kerajaan) dan kehidupan agraris.
Para elit ketika itu adalah the king (raja), the prince (kaum bangsawan), dan the land
lord (tuan/ pemilik tanah pertanian); rakyat jelata kebanyakan buruh tani misalnya di Rusia
disebut sebagai kaum proletar adalah kelompok mayoritas yang hina, hidup susah, dan
senantiasa menjadi korban pemerasan kaum elit.
Lama kelamaan tatanan ini berubah karena tiga hal utama, yaitu:
1. Revolusi Perancis dan Bholshevik (Rusia) yang menghapuskan monarki dan the land
lord
2. Industrialisasi yang mengurangi peran sektor agraris
3. Pengembangan Agama Kristen yang menonjolkan segi kasih sayang di antara umat
manusia
Walaupun demikian casta tidak hilang sama sekali. Ia berubah wujud sebagai “Class
System” yang didefinisikan sebagai: A differentiation among men according to such
categories as wealth, position, and power (perbedaan manusia menurut kekayaan,
posisi/status dan kekuasaan). Class System ini dianalisis secara ilmiah oleh berbagai tokoh
masyarakat; yang terkemuka adalah Karl Marx dengan teorinya: The relations of production.
Inilah embrio pemahaman sosialis komunis yang ingin meniadakan perbedaan kelas
masyarakat, di mana pemerintah menguasai sumber-sumber kehidupan dan mengupayakan
perimbangan income yang wajar di antara rakyatnya.
Peredaran zaman menuju ke abad 20 membawa Class Theory yang klasik seperti
pemikiran Karl Marx berubah menuju era baru seperti apa yang disebut sebagai Class
Mobility, yaitu pengelompokan sosial karena kepentingan profesi. Kini kita biasa mendengar
kelompok-kelompok: usahawan, birokrat, intelektual, militer, dan rohaniawan; mereka
kemudian mengikat diri lebih khusus ke dalam organisasi-organisasi seperti: IKADIN, IDI,
ICMI, ICHI, MUI, PHDI, dll.
India yang disebut dalam berbagai sumber sebagai asal Kasta Stelsel, sebenarnya
mempunyai sekitar 3000 kelompok sosial masyarakat, namun pada umumnya dapat
dibedakan menjadi empat. Pengelompokan ini di India tidak hanya ditemukan pada
masyarakat yang beragama Hindu saja, tetapi juga pada masyarakat yang beragama lain
misalnya penganut Islam berkelompok pada: Sayid, Sheikh, Pathan, dan Momin; penganut
Kristen berkelompok pada: Chaldean Syrians, Yacobite Syrians, Latin Catholics, dan
Marthomite Syrians; penganut Budha berkelompok pada: Mahayana, Hinayana, dan
Theravadi.
Istilah pertama yang digunakan di India sesungguhnya bukanlah kasta tetapi “Varnas”
Bahasa Sanskerta yang artinya Warna (colour); ditemukan dalam Rg Veda sekitar 3000 tahun
sebelum Masehi yaitu Brahman (pendeta), Kshatriya (prajurit dan pemerintah), Vaishya
3
(pedagang/ pengusaha), dan Sudra (pelayan). Tiga kelompok pertama disebut “dwij” karena
kelahirannya diupacarai dengan prosesi penyucian.
Sementara itu, Warna yang diabadikan bahkan diwariskan turun temurun terjadi di
India sebagai usaha kelompok elit mempertahankan status quo, yang sebenarnya sudah sangat
menyimpang dari ajaran suci Weda. Gejala mengabadikan Warna inilah yang dilihat oleh
orang-orang Portugis sehingga timbullah istilah “casta” seperti yang diuraikan di atas.
Penerapan kasta stelsel di India menimbulkan pengkotak-kotakan masyarakat sehingga
mereka saling bertikai. Dalam kondisi seperti ini jiwa nasionalisme pudar sehingga India
mudah dipecah belah dan akhirnya dijajah Inggris.
Agama Hindu kemudian menyebar ke Indonesia lengkap dengan tatanan masyarakat
menurut Warna masing-masing. Mula-mula di Jawa tatanan masyarakat masih murni menurut
Weda yaitu tatanan menurut profesi atau Warna. Ketika Majapahit hendak meluaskan
kerajaan dengan cita-cita menyatukan Nusantara yang terkenal dengan Sumpah Palapa-nya
Gajahmada, maka Majapahit menundukkan Kerajaan Bali Dwipa pada abad ke-13. Para
“penjajah Majapahit” membawa serta kaum elit yang memimpin kerajaan Samprangan. Kaum
elit itu dinamakan Triwangsa, yaitu Brahmana, Ksatria, dan Waisya. Semua penduduk Baliasli
yang dijajah, dikelompokkan sebagai Wangsa Sudra. Tujuan politik Gajahmada adalah
agar kaum Bali-asli tidak bisa eksis, sehingga kelanggengan pemerintahan Samprangan dapat
berlanjut terus.
Titel bagi para Raja di Bali dikukuhkan/dianugrahkan oleh Pemerintah Hindia
Belanda setelah terwujudnya Pemerintahan Swapraja, berlaku efektif sejak tanggal 1 Juli
1938. Pengambilan sumpah jabatan para Raja itu dilaksanakan di Pura Besakih pada tanggal
29 Juni 1938 bertepatan dengan hari raya Galungan oleh Residen Bali dan Lombok: J. Mol.
(sumber: Bali pada abad XIX, Ida Anak Agung Gde Agung, Gajahmada University Press,
1989).
Sejak masa itulah Warna di Bali berubah menjadi Wangsa atau Kasta karena hak-hak
kebangsawanan diturunkan kepada generasi seterusnya. Kebijaksanaan ini menjadi panutan
bagi sebagian golongan Triwangsa lainnya. Setelah kerajaan-kerajaan di Bali runtuh,
kemudian Indonesia menjadi negara Republik, hak-hak kebangsawanan mereka dengan
sendirinya hilang. Namun demikian titel-titel nama depannya masih digunakan, sekedar untuk
mengenang kejayaan masa lalu dan mungkin dengan alasan lain yaitu menghormati leluhur.
Namun bagi orang yang mengerti, keadaan ini sungguh lucu dan menggelikan; betapa tidak?
Indonesia telah merdeka, tetapi mereka masih patuh pada anugerah Belanda.
Sekarang ini tinggal masyarakat saja yang menilai kedudukan seseorang. Tinggi
rendahnya status sosial seseorang di masyarakat ditentukan pada peranan pengabdiannya
kepada kepentingan masyarakat, bukan pada embel-embel predikat nama itu. Mereka yang
bijaksana akan senantiasa menjauhkan perilaku feodalisme, karena feodalisme itu membodohi
diri sendiri. Karenanya fenomena pengaburan makna kelompok sosial ini hendaknya menjadi
4
bahan pemikiran bagi kita semua: masyarakat, lembaga adat, PHDI, dan Pemerintah, agar diera
reformasi ini kejanggalan-kejanggalan di atas tidak berpengaruh kepada kehidupan
beragama.
3. Warna dan Wangsa
Dalam Lontar Wrhaspati Tattwa dijelaskan: Paramasiwa kesadarannya mulai tersentuh
oleh Maya; ketika itu ia mulai terpengaruh oleh sakti, guna, dan swabhawa yang merupakan
hukum kemahakuasaan Sanghyang Widhi Wasa.
Dalam keadaan begini ia diberi gelar Sadasiwa. Ia memiliki kekuatan untuk memenuhi
segala kehendaknya yang disimpulkan sebagai bunga teratai (padma) yang merupakan stana-
Nya. Dengan sakti, guna, dan swabawa-Nya ia aktif dengan segala ciptaan-ciptaan-Nya,
karena itu ia disebut Saguna Brahman. Dalam menciptakan manusia ia tidak membedabedakan
derajat manusia.
Catur Warna adalah: Brahmana, Kesatria, Wesya, dan Sudra. Pengelompokannya menurut
bakat/ kualitas manusia dan kerjanya:
1. Orang yang berbakat, berkualitas, dan bekerja di bidang ke-Tuhanan disebut Brahmana.
2. Orang yang berbakat, berkualitas, dan bekerja di bidang pemerintahan disebut Kesatria.
3. Orang yang berbakat, berkualitas, dan bekerja di bidang perekonomian disebut Waisya.
4. Orang yang berbakat, berkualitas, dan bekerja di bidang pelayanan disebut Sudra.
Keempat kelompok profesi ini diperlukan dalam tatanan kehidupan manusia, oleh
karena itu Sang Hyang Widhi Wasa menciptakan manusia-manusia yang berbeda, tidak sama
semuanya. Tidaklah dapat dibayangkan bagaimana bentuk kehidupan ini jika semua manusia
persis sama: bakat, kualitas, dan kerjanya. Warna seseorang dapat berubah menurut desa,
kala, patra, dan juga dapat dirangkap oleh satu orang. Perubahan menurut desa, kala, patra
sudah terjadi sejak dahulu, misalnya di abad ke 13 M ketika Danghyang Kresna Kepakisan
(Warna Brahmana) dinobatkan sebagai Raja Bali Dwipa oleh Sri Ratu Tribuwanattunggadewi
(Raja Majapahit) gelarnya diubah menjadi Sri Kresna Kepakisan (Warna Kesatria).
Warna seseorang tidak selamanya tetap apalagi turun temurun; misalnya seorang
petani (berwarna Sudra) karena ketekunannya berhasil menyekolahkan anaknya dan di
kemudian hari menjadi bupati maka anaknya sudah menjadi Warna Ksatriya; demikian
sebaliknya seorang keturunan Brahmana yang tidak lagi berprofesi sebagai Wiku tidak dapat
disebut sebagai Warna Brahmana. Perubahan status pada seseorang bahkan dapat terjadi
setiap saat menurut bidang tugasnya, misalnya seorang pesuruh di suatu kantor yang
merangkap menjadi Pemangku di Pura/Sanggah Pamerajan; ketika bertugas sebagai pesuruh
dia berwarna Sudra, tetapi jika bertugas nganteb piodalan di Pura dia berwarna Brahmana.
Kesimpulannya adalah Warna itu realistis dan idealnya semua profesional berbuat
sebaik-baiknya untuk kepentingan bersama dan kesejahteraan umat manusia. Ke-empat
5
Warna itu status dan derajatnya sama, tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih
rendah, karena wujudnya adalah professionalisme.
Wangsa adalah bangsa. Karena bangsa berkonotasi dengan etnis, maka sifatnya turun
temurun. Misalnya anak pasangan suami/istri berbangsa Cina tidak mungkin mengaku anak
orang berbangsa Negro. Di Bali, wangsa sering dikaitkan dengan istilah Kasta. Kasta artinya
tingkatan derajat (Cast) yang membedakan dengan tingkatan atau derajat (Cast) yang lain.
Secara umum konotasi ke-wangsa-an berkaitan dengan politik, perjuangan, dan kekuasaan.
Lama kelamaan wangsa menjadi kasta, dan yang menyedihkan adalah Warna menjadi
wangsa, sehingga sekarang ditemukan: Kasta Brahmana, Kasta Kesatria, Kasta Wesya, Kasta
Sudra, dengan atribut/ titel yang tidak berdasarkan kitab suci. Oleh karena pembauran Warna
dengan wangsa/ kasta, maka atribut/ titel itupun diwariskan turun temurun. Kejanggalan tidak
sedikit terjadi, misalnya seorang wangsa Brahmana berprofesi sebagai Warna Sudra,
demikian sebaliknya. Banyak yang berdalih bahwa mewariskan wangsa kepada keturunan
adalah sebagai wujud penghormatan kepada leluhur. Ini tampaknya kurang bijaksana, karena
pola pikir seperti itu telah menyimpang dari Weda.
4. Sumber Sastra
Beberapa Kitab suci Hindu seperti Manawa Dharma sastra, Bhagawadgita,
Sarasamuscaya, dan lain lain secara jelas mengajarkan bahwa tidak ada perbedaan wangsa di
antara manusia. Yang ada hanyalah perbedaan Warna (profesi). Semua manusia mempunyai
harkat derajat yang sama di hadapan Sang Hyang Widhi Wasa. Bahkan binatang dan tumbuhtumbuhan
pun demikian karena semua ciptaan-Nya. Dengan pengertian seperti itu akan
timbul rasa saling menghormati sesama kita.
Dalam Bhagavadgita IV.13 ditulis:
Caturvarnyah maya srstam
Gunakarmavibhagasah
Tasya kartaram api mamm
Viddhy akartaram avyayam
artinya:
Catur Warna Kuciptakan menurut pembagian dari Guna dan Karma (Sifat dan pekerjaan).
Meskipun Aku sebagai penciptanya, ketahuilah Aku mengatasi gerak dan perubahan.
Warna adalah profesi atau bidang kerja yang dilaksanakan seseorang menurut bakat dan
keahliannya; tidak ada perbedaan derajat diantaranya karena masing-masing menjalankan
karma dengan saling melengkapi.
6
Mantram-mantram dari Yajurveda 18. 48 antara lain berbunyi:
Rucam No Dhehi Brahmanesu,
Rucam Rajasu Nas Krdhi,
Rucam Visyesu Sudresu,
Mayi Dhehi Ruca Rucam
artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa bersedialah memberikan kemuliaan pada para Brahmana, para
Ksatriya, para Vaisya, dan para Sudra. Semoga Engkau melimpahkan kecemerlangan yang
tidak habis-habisnya kepada kami.
Yajurveda mantram 30.5 berbunyi:
Brahmane Brahmanam, Ksatraya,
Rajanyam, Marudbhyo Vaisyam, Tapase Sudram
artinya:
Ya Tuhan Yang Maha Esa telah menciptakan Brahmana untuk pengetahuan, para Ksatriya
untuk perlindungan, para Vaisya untuk perdagangan, dan para Sudra untuk pekerjaan
jasmaniah.
Profesi yang empat jenis itu adalah bagian-bagian (berasal) dari Tuhan Yang Maha Esa yang
suci, diibaratkan sebagai anatomi tubuh manusia dalam tatanan masyarakat, sebagaimana
Yajurveda mantram 31.11 menyatakan:
Brahmano Asya Mukham Asid, Bahu Rajanyah Krtah,
Uru Tadasya Yad Vaisyah, Padbhyam Sudro Ajayata
artinya:
Brahmana adalah mulut-Nya Tuhan Yang Maha Esa, Ksatriya lengan-lengan-Nya, Vaisya
paha-Nya, dan Sudra kaki-kaki-Nya.
Selanjutnya doa yang mengandung harapan agar masing-masing profesi/Warna melaksanakan
swadharma yang baik terdapat pada Yajurveda mantram 33.81:
Pravakawarnah Sucayo Vipascitah
artinya:
para Brahmana seharusnya bersinar seperti api, bijak, dan terpelajar
Yajurveda mantram 20.25:
Yatra Brahma Ca Ksatram Ca, Samyancau Caratah Saha,
Tam Lokam Punyam Prajnesam, Yatra Devah Sahagnina
7
artinya:
di negara itu seharusnya diperlakukan warga negaranya sebaik mungkin, di sana para
Brahmana dan para Ksatriya hidup di dalam keserasian dan orang-orang yang terpelajar
melaksanakan persembahan (pengorbanan).
5. Upaya Memudarkan Sistem Kasta
Bagaimana kiatnya memudarkan sistem kasta? Ya, perlakukan orang-orang berkasta
itu biasa-biasa saja. Hormati mereka berdasarkan inteligensi dan pengabdiannya kepada
masyarakat. Bukan karena titel kebangsawanannya.
Satu lagi tips yang sebaiknya diterapkan di masyarakat Hindu : bila seorang gadis
dinikahi oleh seorang dari kaum Triwangsa sebaiknya namanya tidak usah diganti misalnya
ketika gadis bernama Made Arini, lalu karena menikah dengan Ida Bagus/Anak Agung/I
Gusti namanya diganti menjadi Jero Jempiring. Karena tidak ada aturan tentang hal tersebut
dalam sastra Agama. Ini hanyalah tradisi gugon tuwon yang berbau feodal.
Lontar Dharma Kauripan mengatakan bahwa yang berhak memberi nama atau
merubah nama seorang anak hanyalah ayah dan ibu kandungnya (Guru Rupaka). Nama
diberikan ketika upacara tiga bulanan, disaksikan oleh Ida Bethara Hyang Guru (Kemulan),
karena itu ada unsur sakralnya. Anak yang namanya diganti bukan atas kehendak orang
tuanya akan menemui kesialan dalam hidup selanjutnya, karena terkena kutukan prasangga
pada Guru Rupaka. Dan mudah-mudahan juga ketika natab banten pekala-kalaan si Jero
Jempiring tidak natab bersama keris sebagai ganti sang suami. Kalau ini juga terjadi
penyimpangan dharma agama akan makin melebar.
Seorang lelaki yang menikahi seorang gadis yang berbeda wangsa tidak hanya
mencintai dan menyayangi gadis itu saja, tetapi juga wajib menghormati dan menyayangi
keluarga si gadis, termasuk para leluhurnya. Ngaturang bakti di sanggah pamerajan pihak
wanita tidak selamanya berarti “nyumbah” leluhur si gadis, tetapi (dalam upacara
Pawiwahan) lebih bermakna sebagai permakluman dan perkenalan diri kepada para leluhur si
gadis.
Yang terakhir, perlu dipahami bahwa upacara Mepamit tidak berarti mohon diri
kepada Ida Bethara di Sanggah Pamerajan, tetapi berarti pemindahan registrasi (secara
niskala), yaitu registrasi di Sanggah Pamerajan gadis dicoret kemudian terdaftar di Sanggah
Pamerajan laki-laki, sehingga nanti bila meninggal dunia lalu di-aben, arwah si gadis sudah
sah “mepaingkup” di Sanggah Pamerajan laki-laki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar